EFEKTIFITASEKSEKUSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009. The enforcement of justice and the limitation of the use of violence are two of the many conditions and values or the upholding of democracy. One of the institutions for the implementation of democratic values is the existence of a free judicial
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis judicial control tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi mal administrasi ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum abuse of power. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya. Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat 4 yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali PK sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat 1 yang berisi Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang; Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu Diserahkan kepada Pengadilan Perdata; Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa; Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus. Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya Pembentukan Peradilan Tata Usaha NegaraPhilipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan inspraak atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan beschiking dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu hukum yang dimaksud adalah Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara; Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa; Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan. Referensi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara
PengadilanTata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Subyek Hukum), terdapat apa dikenal sebagai objek sengketa dari para pihak yaitu Keputusan Administrasi Pemerintahan (berdasarkan pengertian Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang 30 tahun 2014) dan Tindakan Administrasi
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Sebuah Instansi atau Badan yang netral terhadap suatu peristiwa hukum yang konkrit untuk kemudian melakukan proses pemeriksaan dan memasukkan peristiwa konkrit tersebut ke dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkannya ke dalam suatu putusan. Untuk dapat disebut sebagai suatu peradilan khusus,maka Peradilan tata usaha negara harus memenuhi adanya beberapa syarat diantaranya Adanya suatu Instansi atau Badan yang netral dan dibentuk berdasarkan Undang-undang sehingga memiliki kewenangan untuk memberikan suatu peristiwa hukum konkrit yang memerlukan adanya suatu kepastian suatu aturan hukum yang abstrak dan mengikat secara sekurang-kurangnya dua pihak yang hukum formal. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN PTUN Dasar Hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN yaitu Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24 yang menyatakan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah MPR jo TAP MPR No II/MPR/1983 yang menyatakan perlu segera dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara PTUN.Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,Pasal 10 ayat 1 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan di lingkungan peradilan Umum,Militer,Agama dan Tata Usaha No 14 Tahun 1995 Tentang Mahkamah No 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. TUJUAN DIBENTUKNYA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Adapun beberapa tujuan dibentuknya peradilan tata usaha negara diantaranya Memelihara dan meningkatkan rasa keadilan di dalam masyarakat sebagai bagian dari pelayanan pemerintah terhadap warga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum dengan serta memelihara Administratur negara/Pejabat negara yang tepat menurut hukum,Undang-undang serta tepat secara fungsionil sehingga dapat berfungsi secara efisien dan melengkapi pengawasan khususnya dalam bidang Yudikatif terhadap para administrator negara. FUNGSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Adapun Fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Merupakan sarana kontrol yudikatif terhadap para pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sehingga tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku,yang pada akhirnya akan dapat mewujudkan aparatur negara yang bersih dan perlindungan kepada warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pejabat tata usaha sengketa tata usaha negara yang terjadi di dalam untuk merealisasikan hal tersebut Peradilan tata usaha negara memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara,dan adapun kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya Bagi yang tidak bisa membaca dan menulis,maka Panitera akan membantu merumuskan gugatan yang mereka yang kurang mampu akan diberikan suatu keringanan biaya perkara, dan bahkan dapat diberikan secara kepentingan Penggugat dirasakan sangat mendesak atas permohonan penggugat,Ketua Pengadilan dapat menentukan pemeriksaan perkara dengan acara dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara terdekat dengan tempat tinggalnya,untuk selanjutnya dilanjutkan ke Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa dimaksud.
PengadilanTinggi Tata Usaha Negara Jakarta Jalan Cikini Raya, No. 117, Jakarta Pusat Tlp : 021-319 261 62, Fax : 021-319 616 63 Email : pt.jakarta@ptun.org. Beranda; Pengadilan Tinggi Tata Usaha Jakarta dibentuk pada tahun 1990 berdasarkan Keppres nomor 52 tahun 1990, tanggal 30 Oktober 1990 dan PP no 41 tahun 1991 tentang Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu lingkup peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansi-instansi Tata Usaha Negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara adat, maupun perkara administrasi murni. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang keduanya berada dibawah pengawasan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. 2. Pengadilan Tata Usaha Negara a. Tempat Keuddukan dan Daerah Hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dengan daerah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi, Pengadilan ini merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa tata usaha negara. b. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Di dalam pasal 47 jo pasal 50 undang-undang PTUN disebutkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat banding, sudah barang tentu mempunyai kewenangan memberikan dan memutus sengketa di tingkat banding. Berdasarkan pasal 51 undang-undang PTUN dapat disimpulkan bahwa kewenangan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, adalah a. Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding; b. Betugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya. c. Betugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 UU PTUN. c. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Di dalam pasal 11 undang-undang PTUN, susunan pengadilan Tata Usaha Negara adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Susunan tersebut sama halnya dengan susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Beda dengan susunan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, di Pengadilan TUN tidak ada juru sita. 1. Pimpinan Berdasarkan pasal 11 undang-undang PTUN Nomor 9 tahun 2004 pimpinan PTUN terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua, pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk ketua dan wakil ketua adalah sama dengan Pengadilan-Pengadilan lain terutama Pengadilan Negeri. Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Mengenai pengangkatan dan pemberhentian jabatan ketua dan wakil ketua, baik pengadilan TUN ataupun Pengadilan Tinggi TUN berada di tangan Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. 2. Hakim Anggota Secara umum ketentuan yang berkaitan dengan hakim anggota pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah sama dengan Hakim Pengadilan Negeri. Begitu juga halnya dengan persyaratan pengangkatan hakim tinggi dalam pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, pada pokoknya sama dengan persyaratan pengangkatan hakim tinggi di dalam lingkungan peradilan umum. 3. Panitera Pada umumnya susunan kepaniteraan pengadilan TUN adalah sama dengan susunan kepaniteraan di dalam peradilan umum. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ketentuan umum mengenai panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tidak jauh berbeda dengan ketentuan umum panitera pada pengadilan tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum. 4. Sekretaris Sama halnya dengan lingkungan peradilan lain, sesuai dengan pasal 40 dan 41 undang-undang PTUN, disana ditentukan bahwa jabatan sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dirangkap oleh panitera yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil sekretaris. Mengenai ketentuan umum lainnya tidak jauh berbeda dengan peradilan umum. PERADILAN PERDATA TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PERADILAN PERDATA A. TAHAP ADMINISTRATIF a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang Menurut pasal 118 HIR, ditentukan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah 1 Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam domisili Tergugat. 2 Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri di tempat diam domisili salah seorang dari Tergugat tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan penjamin, maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu. 3 Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat tidak dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut terletak. 4 Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah disepakati oleh pihak Penggugat b. Penggugat membayar biaya perkara, c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara, d. Penggugat menerima nomor perkara roll. Hak dan Kewajiban Tergugat/Penggugat Dalam hal pemahaman bahasa Pasal 120 Bilamana Penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan itu. Pasal 131 1 Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan hal ini mesti disebutkan dalam pemberitahuan pemeriksaan, maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa dari kedua belah pihak. 2 Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu memakai seorang juru bahasa. 3 Jika juru bahasa itu bukan berasal dari juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, maka harus disumpah terlebih dahulu di hadapan ketua. Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa. Dalam hal gugatan balik Pasal 132 a 1 Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan/gugat balik, kecuali 1e. kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2e. kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan 3e. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan. 2 Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu. Dalam hal kewenangan Pengadilan Pasal 134 Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya. Dalam hal pembuktian Pasal 137 Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya surat mana diserahkan kepada hakim untuk keperluan itu. Dalam hal berperkara tanpa biaya Pasal 237 Orang-orang yang demikian, yang sebagai Penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya. Pasal 238 1 Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 dan 120. 2 Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada Pasal 121. 3 Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh Kepala polisi pada tempat tinggal si pemohon yang berisi keterangan yang menyatakan bahwa benar orang tersebut tidak mampu. Penentuan hari sidang Pasal 122 Ketika menentukan hari persidangan maka ketua menimbang jauh letaknya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak daripada tempat pengadilan negeri bersidang, dan dalam surat perintah sedemikian, maka waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan ditetapkan, kecuali dalam hal yang perlu sekali, tidak boleh kurang dari tiga hari pekerjaan. Kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada sidang pertama hadir, tergugat tidak hadir Pasal 125 1 jikalau si Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir, kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan. 2.. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir Pasal 124 jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya tersebut, memasukkan tuntutannya sekali lagi. 3. Kedua belah pihak tidak hadir Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada. 4. Kedua belah pihak hadir. Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai dengan sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di antara kedua belah pihak tersebut. Hak dan Kewajiban Hakim Hak Dalam hal pemberian nasehat Pasal 119 Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasehat dan pertolongan kepada Penggugat atau wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya. Pasal 132 Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan akan menunjukan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu supaya perkara berjalan dengan baik dan teratur. Dalam hal kewenangan hakim Pasal 159 ayat 4 Hakim berwenang untuk menolak permohonan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan bahwa hal tersebut tidak diperlukan. Pasal 175 Diserahkan kepada timbangan dan hati-hatinya hakim untuk menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar hukum. Pasal 180 1 Ketua PN dapat memerintahkan supaya suatu keputusan dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau bandingnya, apabila ada surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku yang dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan yang pasti, demikian juga dikabulkan tuntutan dahulu, terlebih lagi di dalam perselisihan tersebut terdapat hak kepemilikan. 2 Akan tetapi dalam hal menjalankan terlebih dahulu ini, tidak dapat menyebabkan sesorang dapat ditahan. Kewajiban Dalam hal pembuktian Pasal 172 Dalam hal menimbang harga kesaksian, hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi; cocoknya kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselsiihkan; tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang perkelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi-saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak. Pasal 176 Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan masksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti dengan kenyataan yang dusta. Dalam hal menjatuhkan putusan Pasal 178 1 Hakim karena jabatannya, pada waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. 2 Hakim wajib mengadili atas seluruh bagian gugatan. 3 Ia tidak diijinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat. Dalam hal pemeriksaan perkara di muka pengadilan Pasal 372 1 Ketua-ketua majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan pemusyawaratan. 2 Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban baik dalam persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus dilakukan dengan segera dan seksama. UU No. 14 Tahun 1970 Tugas Hakim Pasal 2 ayat 1 Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 5 ayat 2 Dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 14 ayat 1 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan ia wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Upaya Hukum Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. Hukum Biasa Upaya hukum ini pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ini terbagi dalam a. Perlawanan; yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding. b. Banding; yaitu pengajuan perkara kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. c. Prorogasi; yaitu mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi. d. Kasasi; yaitu tindakan MA untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi. Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah 1. Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang, 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. 2. Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali; yaitu peninjauan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan syarat terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh UU. Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga; yaitu perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketigaBottom of Form                                                                                                                                          Asas dalam Hukum Acara PTUN “Asas praduga rechtmatig benar menurut hukum, presumptio iustea causa, asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum benar sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat Pasal 67 ayat 1 UU tahun 1986; “Asas pembuktian bebas”. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100; ”Asas keaktifan hakim dominus litis”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang lihat Pasal 58, 63, ayat 1 dan 2, Pasal 80 dan Pasal 85 ”Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa; dan asas-asas peradilan lainnya, mislny asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif. “Asas para pihak harus didengar audi et alteram partem”, para pihak mempunyai kedudukan yang sama; “Asas kesatuan beracara” dalam perkara yang sejenis; “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” Pasal 24 UUD 1945 1 UU No. 4 2004; “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum Pasal 70 UU PTUN; “Asas pengadilan berjenjang” tingkat pertama PTUN, banding PT TUN, dan Kasasi MA, dimungkinkan pula PK MA; “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir ultimum remidium”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi musyawarah mufakat, jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan Pasal 48 UU PTUN; “Asas obyektivitas”, lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Usahausaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan landraad (pengadilan Ilustrasi Peradilan Tata Usaha Negara. Foto ketatanegaraan Republik Indonesia memiliki tiga pilar kekuasaan, yakni kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif atau dengan kekuasaan kehakiman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di itu meliputi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah situs resmi Pengadilan Negeri Ponorogo, Peradilan Tata Usaha Negara meliputi Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Untuk lebih memahami apa itu Peradilan Tata Usaha Negara, simak penjelasannya berikut ini!Pengertian Peradilan Tata Usaha NegaraPeradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk. Lahirnya peradilan tata usaha negara ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada 29 Desember Peradilan Tata Usaha Negara menjadi bukti nyata bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan Hak Asasi Manusia HAM.Melansir laman tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, yakni untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan begitu, dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan terpeliharanya hubungan yang seimbang antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan masyarakat Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pada 14 Januari 1991, Peradilan Tata Usaha Negara resmi beroperasi. Salah satunya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Adapun daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Kemudian, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha NegaraBerikut ini merupakan dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang disadur dari laman Pemerintah Nomor 41 Tahun 1991 tentang Pembentukan Peradilan Tata Usaha NegaraUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha NegaraUndang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha NegaraUndang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha NegaraTugas dan Wewenang Pengadilan Tata Usaha NegaraMenurut situs resmi Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha pengacara. Foto yang dimaksud adalah sengketa yang timbul dalam bidang hukum Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata anggota masyarakat dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara pemerintah baik dipusat maupun didaerah. Hal ini termasuk kepada sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang demikian dapat diketahui bahwa subjek di Peradilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai itu yang menjadi objek di Peradilan Tata Usaha Negara merupakan Surat Keputusan Tata Usaha Negara atau yang dikenal dengan keputusan atau penetapan beschikking.Apa tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara?Sebutkan contoh-contoh badan peradilan!Apa tugas Pengadilan Tata Usaha Negara? SejarahSingkat. Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1993. Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon berkedudukan di Jln. Wolter Monginsidi No.168 Lateri - Ambon. Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon mempunyai tugas pokok memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang bersifat

Konsekuensi dari ditetapkannya negara Indonesia sebagai negara hukum adalah bahwa segala kehidupan kenegaraan selalu berdasarkan kepada hukum. Untuk menjaga dan mengawasi bahwa hukum itu berjalan sebagaimana mestinya, maka dibutuhkan sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Sistem hukum di Indonesia dibuat agar hukum berlaku secara efektif, mengurangi pelanggaran-pelanggaran, serta untuk menegakkan keadilan. Seperti apa makna dan karakteristik hukum yang ditegakkan di Indonesia? Berikut adalah pemaparannya. Makna dan Karakteristik Hukum Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa hukum ibarat pagar di kebun binatang. Berkat pagar, orang berani berkunjung ke sana untuk menghampiri binatang buas sekalipun. Para pengunjung dapat menikmati kehidupan binatang dengan aman karena ada pagar yang membatasi mereka dengan binatang buas. Intinya, hukum dapat diibaratkan sebagai pagar pembatas, agar kehidupan manusia aman dan damai. Tanpa adanya hukum di negara, maka kesemrawutan akan terjadi dalam segala hal, mulai dari kehidupan pribadi sampai pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apa sebetulnya pengertian atau definisi dari hukum itu sendiri? Untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang masing-masing mengenai hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Apeldorn dalam Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 78 bahwa “definisi hukum itu sangat sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya sesuai kenyataan”. Meskipun sulit untuk merumuskan hukum, namun kita dapat memastikan beberapa hal yang pasti dimiliki oleh hukum. Hal itu meliputi unsur dan karakteristik hukum. Unsur Hukum Di dalam hukum, setidaknya kita dapat memastikan bahwa terdapat beberapa unsur pembentuk yang menjadikan sesuatu sebagai hukum. Unsur-unsur hukum tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib. Peraturan itu bersifat memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Karakteristik Hukum Adapun yang menjadi karakteristik dari hukum adalah adanya perintah dan larangan. Perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh semua orang. Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Tugas Hukum Hukum dapat memaksa seseorang untuk menaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak menaatinya akan diberikan sanksi yang tegas. Dengan demikian, suatu ketentuan hukum mempunyai tugas berikut. Menjamin kepastian hukum bagi setiap orang di dalam masyarakat. Menjamin ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, kemakmuran, kebahagian, dan kebenaran. Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan “main hakim sendiri” dalam pergaulan masyarakat. Pengertian Hukum Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu dapat disebut hukum apabila mengandung unsur-unsur peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib; peraturan itu bersifat memaksa; dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas, dengan karakteristik adanya perintah dan larangan, serta perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh semua orang. Dapat disimpulkan pula bahwa hukum adalah suatu peraturan dan larangan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib dan ditujukkan untuk menjaga ketertiban, kebahagiaan, kedamaian, dan nilai-nilai positif lainnya dalam kehidupan dengan cara menegakkan keadilan seadil mungkin. Penggolongan Hukum Hukum mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan aspek kehidupan manusia sangatlah luas. Hal itu menyebabkan cakupan hukum pun amatlah luas. Untuk itu, perlu dilakukan penggolongan atau klasifikasi yang dapat berdasarkan pada sumber, tempat berlaku, bentuk, waktu berlaku, wujud, dan isinya. Berikut adalah pemaparan dan penjelasan klasifikasi hukum berdasarkan keputusan ilmu hukum. Penggolongan Hukum Berdasarkan Sumbernya Penggolongan hukum berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Hukum kebiasaan, yaitu hukum yang terletak dalam aturan-aturan kebiasaan. Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antarnegara traktat. Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim. Penggolongan Hukum Berdasarkan Tempat Berlakunya Hukum berdasarkan tempat berlakunya dapat digolongkan menjadi sebagai berikut ini. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam wilayah suatu negara tertentu. Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antarnegara dalam dunia internasional. Hukum internasional berlakunya secara universal, baik secara keseluruhan maupun terhadap negara-negara yang mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional traktat. Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam wilayah negara lain. Hukum gereja, yaitu kumpulan-kumpulan norma yang ditetapkan oleh gereja untuk para anggotanya. Penggolongan Hukum Berdasarkan Bentuknya Hukum berdasarkan bentuknya terdiri dari sebagai berikut. Hukum tertulis, yang dibedakan atas dua macam, yakni a Hukum tertulis yang dikodifikasikan, yaitu hukum yang disusun secara lengkap, sistematis, teratur, dan dibukukan sehingga tidak perlu lagi peraturan pelaksanaan, contohnya KUH Pidana, KUH Perdata, dan KUH Dagang; b Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum yang meskipun tertulis, tetapi tidak disusun secara sistematis, tidak lengkap, dan masih terpisah-pisah sehingga sering masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam penerapan, dengan contoh undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden. Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang hidup dan diyakini oleh warga masyarakat serta dipatuhi dan tidak dibentuk menurut prosedur formal, tetapi lahir dan tumbuh di kalangan masyarakat itu sendiri. Hukum Berdasarkan Waktu Berlakunya Penggolongan hukum berdasarkan waktu berlakunya adalah sebagai berikut. Ius Constitutum hukum positif, yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Misalnya, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Ius Constituendum hukum negatif, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang. Misalnya, rancangan undang-undang RUU. Hukum Berdasarkan Cara Mempertahankannya Berdasarkan cara mempertahankannya, hukum dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut. Hukum material, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat yang berlaku umum tentang hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan untuk dilakukan. Misalnya, hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dsb. Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan dan melaksanakan hukum material. Misalnya, Hukum Acara Pidana KUHAP, Hukum Acara Perdata, dsb. Penggolongan Hukum Berdasarkan Sifatnya Berdasarkan sifatnya, hukum dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut. Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak. Misalnya, melakukan pembunuhan maka sanksinya secara paksa wajib dilaksanakan. Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan antarindividu yang baru berlaku apabila yang bersangkutan tidak menggunakan alternatif lain yang dimungkinkan oleh hukum undang-undang. Misalnya, ketentuan dalam pewarisan ab-intesto pewarisan berdasarkan undang-undang, baru mungkin bisa dilaksanakan jika tidak ada surat wasiat testamen. Hukum Berdasarkan Wujudnya Penggolongan hukum menurut wujudnya adalah sebagai berikut. Hukum objektif, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih yang berlaku umum. Dengan kata lain, hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku terhadap seorang atau lebih. Hukum subjektif sering juga disebut hak. Hukum Berdasarkan Isinya Pembagian hukum berdasarkan isinya adalah sebagai berikut. Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan individu warga negara, menyangkut kepentingan umum publik. Hukum publik terbagi atas a Hukum Pidana, yaitu mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan, memuat larangan dan sanksi; b Hukum Tata Negara, yaitu mengatur hubungan antara negara dengan bagian-bagiannya; c Hukum Tata Usaha Negara administratif, yaitu mengatur tugas kewajiban pejabat negara; d Hukum Internasional, yaitu mengatur hubungan antar negara, seperti hukum perjanjian internasional, hukum perang internasional, dsb. Hukum privat sipil, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu satu dengan individu lain, termasuk negara sebagai pribadi. Hukum privat terbagi atas a Hukum Perdata, yaitu hukum yang mengatur hubungan antarindividu secara umum, contonya hukum keluarga, hukum kekayaan, hukum waris, hukum perjanjian, dan hukum perkawinan; b Hukum Perniagaan dagang, yaitu hukum yang mengatur hubungan antarindividu dalam perdagangan, dengab contoh hukum tentang jual beli, hutang piutang, pendirian perusahaan dagang, dsb. Tujuan Hukum Berbagai ahli di bidang ilmu hukum mengemukakan pandangan yang berbeda mengenai tujuan hukum. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum dikenal tiga jenis aliran konvensional tentang tujuan hukum, yaitu sebagai berikut. Aliran Etis, yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah mencapai keadilan. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga. Aliran yuridis formal, yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk kepastian hukum. Selanjutnya menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto Tujuan hukum adalah kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi yang berarti, sehingga setidaknya hukum akan bertujuan mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi masyarakat; menciptakan keadilan dan ketertiban; menciptakan pergaulan hidup antar anggota masyarakat; memberi petunjuk dalam pergaulan masyarakat. Tata Hukum Indonesia Sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tata hukum sendiri. Tata hukum suatu negara mencerminkan kondisi objektif dari negara yang bersangkutan sehingga tata hukum suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Tata hukum merupakan hukum positif atau hukum yang berlaku di suatu negara pada saat sekarang. Tujuan tata hukum adalah untuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tertib hukum bagi masyarakat suatu negara sehingga dapat dicapai ketertiban di negara tersebut. Tata hukum Indonesia merupakan keseluruhan peraturan hukum yang diciptakan oleh negara dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan tata hukum tersebut dapat dipaksakan oleh alat-alat negara yang diberi kekuasaan. Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia. Oleh karena itu, tata hukum Indonesia baru ada ketika negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut dapat dilihat dalam pernyataan berikut. Proklamasi Kemerdekaan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia”. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dua hal di atas mengandung arti sebagai berikut. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada saat itu juga menetapkan tata hukum Indonesia. Di dalam UndangUndang Dasar itulah tercantum tata hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya memuat ketentuan dasar dan merupakan rangka dari tata hukum Indonesia. Masih banyak ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan lebih lanjut dalam undang-undang organik. Oleh karena itu, sampai sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang merupakan produk hukum kolonial, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sistem Peradilan di Indonesia Sistem petilan di Indonesia disokong oleh beberapa lembaga peradilan. Lembaga peradilan ini akan melaksanakan berbagai ketentuan hukum yang telah ditentukan. Berikut adalah berbagai pemaparan yang membahas sistem peradilan di Indonesia. Makna Lembaga Peradilan Lembaga peradilan adalah wahana bagi setiap rakyat yang mencari keadilan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Lembaga peradilan akan melibatkan salah satu konsep kekuasaan negara. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, perwujudan kekuasaan kehakiman ini diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, badan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai penegak keadilan dan dibersihkan dari setiap intervensi/campur tangan, baik dari lembaga legislatif, eksekutif maupun lembaga lainnya. Proses Peradilan Proses peradilan dilaksanakan di sebuah tempat yang dinamakan pengadilan. Peradilan adalah pada proses mengadili perkara sesuai dengan kategori perkara yang diselesaikan. Sementara itu, pengadilan menunjuk pada tempat untuk mengadili perkara atau tempat untuk melaksanakan proses peradilan guna menegakkan hukum. Pengadilan secara umum mempunyai tugas untuk mengadili perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang. Selain itu, pengadilan juga wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara peradilan yang masuk. Sementara itu, lembaga peradilan nasional sama artinya dengan pengadilan negara yaitu lembaga yang dibentuk oleh negara sebagai bagian dari otoritas negara di bidang kekuasaan kehakiman dengan sumber hukumnya peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam negara. Dasar Hukum Lembaga Peradilan Menurut Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 91 yang menjadi dasar hukum terbentuknya lembaga-lembaga peradilan nasional sebagai berikut. Pancasila terutama sila kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX Pasal 24 Ayat 2 dan 3 sebagai berikut 1 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 2 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang RI Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang RI Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Klasifikasi Lembaga Peradilan Dalam pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dari ketentuan di atas, sesungguhnya badan peradilan nasional dapat diklasifikasikan menjadi mahkamah agung dan mahkamah konstitusi, dengan rincian lembaga peradilan di bawah mahkamah agung yang meliputi Peradilan Umum, yang terdiri atas a Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota; b Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi. Peradilan Agama yang terdiri atas a Pengadilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota; b Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Peradilan Militer, terdiri atas a Pengadilan Militer; b Pengadilan Militer Tinggi; c Pengadilan Militer Utama; d Pengadilan Militer Pertempuran. Peradilan Tata Usaha Negara, yang terdiri atas a Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota; b Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Kompetensi Lembaga Peradilan Badan-badan peradilan di atas mempunyai fungsi tersendiri sesuai dengan kompetensinya. Kompetensi sebuah lembaga peradilan adalah sebagai berikut. Kompetensi relatif, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya untuk mengadili suatu perkara. Misalnya, penyelesaian perkara perceraian bagi penduduk yang beragama Islam maka yang berwenang untuk menyelesaikannya adalah peradilan agama. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, disidangkan di pengadilan militer. Kompetensi absolut, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan wilayah hukum atau wilayah tugas suatu badan peradilan. Misalnya, pengadilan negeri, wilayah hukumnya hanya meliputi satu kabupaten atau kota dan hanya berwenang menyidangkan perkara hukum yang terjadi di wilayah hukumnya. Perangkat Lembaga Peradilan Terdapat banyak sarana untuk mencari keadilan di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat beberapa perangkat lembaga peradilan yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan pencarian keadilan. Berikut adalah pemaparan mengenai perangkat lembaga peradilan. Peradilan Umum Menurut Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang RI Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Berikut adalah pemaparannya. Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri mempunyai perangkat yang terdiri atas pimpinan yang terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua, hakim yang merupakan pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, panitera yang dibantu oleh wakil panitera, panitera muda, dan panitera muda pengganti, sekretaris, dan juru sita yang dibantu oleh juru sita pengganti. Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat Pengadilan Tinggi terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri atas seorang ketua ketua dan seorang wakil ketua. Hakim anggota anggota Pengadilan Tinggi adalah hakim tinggi. Pengadilan Tinggi dibentuk dengan undang-undang. Peradilan Agama Peradilan agama diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan kehakiman pada peradilan agama berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Agama Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan dibentuk berdasarkan keputusan presiden kepres. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan agama terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Pimpinan pengadilan agama terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Hakim dalam pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan ketua Mahkamah Agung. Ketua dan wakil ketua pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan ketua Mahkamah Agung. Wakil ketua dan hakim pengadilan agama diangkat sumpahnya oleh ketua pengadilan agama. Pengadilan Tinggi Agama Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pengadilan tinggi agama merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan tinggi agama terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan pengadilan tinggi agama terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh ketua Mahkamah Agung. Hakim anggota pengadilan tinggi agama adalah hakim tinggi. Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi agama. Peradilan Militer Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Dalam peradilan militer dikenal adanya oditurat yaitu badan di lingkungan TNI yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI. Oditurat terdiri atas oditurat militer, oditurat militer tinggi, oditurat jenderal, dan oditurat militer pertempuran. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan tata usaha negara diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tata usaha negara dilaksanakan oleh pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara. Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan tata usaha negara berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tata usaha negara dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan tata usaha negara terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Pimpinan pengadilan terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua Mahkamah Agung. Wakil ketua dan hakim pengadilan tata usaha negara diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tata usaha negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Pengadilan tinggi tata usaha negara berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan tinggi tata usaha negara terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan pengadilan tinggi tata usaha negara terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Ketua pengadilan tinggi tata usaha negara diambil sumpahnya oleh ketua Mahkamah Agung. Hakim anggota pengadilan ini adalah hakim tinggi. Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan dari pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 sembilan orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 tiga orang oleh DPR, presiden, dan Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan organisasinya terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 tujuh anggota hakim konstitusi. Untuk kelancaran tugas Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, yang susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenangnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketua dan Wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 3 tiga tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara. Tingkatan Lembaga Peradilan Terdapat banyak lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut tentunya tidak semuanya berkedudukan sejajar, akan tetapi ditempatkan secara hierarki bertingkat-tingkat sesuai dengan peran dan fungsinya. Adapun tingkatan lembaga peradilan adalah sebagai berikut. Pengadilan Tingkat Pertama Pengadilan Negeri Pengadilan tingkat pertama mempunyai kekuasaan hukum yang meliputi satu wilayah kabupaten/kota. Fungsi pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, khususnya tentang dua hal berikut. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian tuntutan. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau tuntutan. Pengadilan Tingkat Kedua Pengadilan tingkat kedua disebut juga pengadilan tinggi yang dibentuk dengan undang-undang. Daerah hukum pengadilan tinggi pada dasarnya meliputi satu provinsi. Pengadilan tingkat kedua berfungsi sebagai berikut. Menjadi pimpinan bagi pengadilan-pengadilan negeri di dalam daerah hukumnya. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya peradilan itu diselesaikan dengan saksama dan wajar. Mengawasi dan meneliti perbuatan para hakim pengadilan negeri di daerah hukumnya. Untuk kepentingan negara dan keadilan, pengadilan tinggi dapat memberi peringatan, teguran, dan petunjuk yang dipandang perlu kepada pengadilan negeri dalam daerah hukumnya. Adapun wewenang pengadilan tingkat kedua adalah sebagai berikut. Mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk diteliti dan memberi penilaian tentang kecakapan dan kerajinan hakim. Kasasi oleh Mahkamah Agung Mahkamah Agung berkedudukan sebagai puncak semua peradilan dan sebagai pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan dan memberi pimpinan kepada pengadilan-pengadilan yang bersangkutan. Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung diatur oleh Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004, perangkat atau kelengkapan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, dua orang wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. Dalam hal kasasi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung adalah membatalkan atau menyatakan tidak sah putusan hakim pengadilan tinggi karena putusan itu salah atau tidak sesuai dengan undang-undang. Hal tersebut dapat terjadi karena alasan berikut. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan. Melampaui batas wewenang. Salah menerapkan atau karena melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Peran Lembaga Peradilan Berikut adalah peran dari masing-masing lembaga peradilan di Indonesia. Lingkungan Peradilan Umum Pengadilan tinggi berperan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat kedua atau banding. Di samping itu, pengadilan tinggi juga berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir apabila ada sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan negeri dalam daerah hukumnya. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Pengadilan negeri berperan dalam proses pemeriksaan, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan tertinggi dalam lapangan peradilan di Indonesia. Mahkamah Agung berperan dalam proses pembinaan lembaga peradilan yang berada di bawahnya. Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan. Dalam pasal 20 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang berikut. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang, seperti memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi. Lingkungan Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama. Berdasarkan pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006, pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan tata usaha negara berperan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lingkungan Peradilan Militer Peradilan militer berperan dalam menyelenggarakan proses peradilan dalam lapangan hukum pidana, khususnya bagi pihak-pihak berikut. Anggota TNI. Seseorang yang menurut undang-undang dapat dipersamakan dengan anggota TNI. Anggota jawatan atau golongan yang dapat dipersamakan dengan TNI menurut undang-undang. Seseorang yang tidak termasuk ke dalam angka 1, 2, dan 3, tetapi menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang ditetapkan berdasarkan persetujuan Menteri Hukum dan Perundang-undangan harus diadili oleh pengadilan militer. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4 empat kewenangan dan 1 satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk perkara-perkara berikut. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Memutus pembubaran partai politik. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menampilkan Sikap yang Sesuai dengan Hukum Setiap anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, baik kepentingan yang sama maupun berbeda. Tidak jarang di masyarakat perbedaan kepentingan sering menimbulkan pertentangan yang menyebabkan timbulnya suasana yang tidak tertib dan tidak teratur. Dengan demikian untuk mencegah timbulnya ketidaktertiban dan ketidakteraturan dalam masyarakat diperlukan sikap positif untuk menaati setiap norma atau hukum yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui berbagai sikap dan perilaku yang sesuai dengan hukum. Perilaku yang Sesuai dengan Hukum Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. Kepatuhan hukum mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran memahami dan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku; mempertahankan tertib hukum yang ada; dan menegakkan kepastian hukum. Ciri-Ciri Perilaku yang Sesuai dengan Hukum Adapun ciri-ciri seseorang yang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku dapat dilihat dari perilaku yang diperbuatnya seperti disenangi oleh masyarakat pada umumnya; tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain; tidak menyinggung perasaan orang lain; menciptakan keselarasan; mencerminkan sikap sadar hukum; dan mencerminkan kepatuhan terhadap hukum. Perilaku yang Bertentangan dengan Hukum Beserta Sanksinya Selain mengetahui perilaku yang sesuai dengan hukum yang berlaku, kita juga harus mengetahui perilaku yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, agar kalian kita dapat menghindarinya. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal yaitu pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan kebutuhan; dan hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan. Macam-Macam Sanksi Sanksi terhadap pelanggaran itu amat banyak ragamnya, misalnya sanksi hukum, sanksi sosial, dan sanksi psikologis. Sifat dan jenis sanksi dari setiap norma atau hukum berbeda satu sama lain. Akan tetapi, dari segi tujuannya sama yaitu untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Berikut ini sanksi dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. No. Norma Pengertian Contoh-Contoh Sanksi 1. Agama Petunjuk hidup yang bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui utusanutusan-Nya Rasul/Nabi yang berisi perintah, larangan atau anjuran-anjuran beribadah tidak berjudi suka beramal Tidak langsung, karena akan diperoleh setelah meninggal dunia pahala atau dosa 2. Kesusilaan Pedoman pergaulan hidup yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik-buruknya suatu perbuatan berlaku jujur menghargai orang lain Tidak tegas, karena hanya diri sendiri yang merasakan merasa bersalah, menyesal, malu, dan sebagainya 3. Kesopanan Pedoman hidup yang timbul dari hasil pergaulan manusia di dalam masyarakat menghormati orang yang lebih tua tidak berkata kasar menerima dengan tangan kanan Tidak tegas, tapi dapat diberikan oleh masyarakat dalam bentuk celaan, cemoohan atau pengucilan dalam pergaulan 4. Hukum Pedoman hidup yang dibuat oleh badan yang berwenang mengatur manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berisi perintah dan larangan harus tertib harus sesuai prosedur dilarang mencuri Tegas dan nyata serta mengikat dan memaksa bagi setiap orang tanpa kecuali Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI. Jakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

. 427 424 1 250 18 179 355 69

pengadilan tata usaha negara dibentuk berdasarkan